Senin, 08 Januari 2018

Institusi wakaf



TUGAS MAKALAH INDIVIDU
MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK
Tentang :
institusi wakaf
Oleh :
SEP PUTRI AYU ANDIRA          
1630401167
Sepputriayuandiraiainbts.blogspot.com

Dosen Pembimbing:
Dr. SyukriIska, M.Ag
IfeldaNengsih, SEI., MA

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BATUSANGKAR
2017/ 1438 H



                                                                         BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wakaf adalah salah satu usaha yang tengah dikembangkan untuk  meningkatkan peran wakaf dalam bidang ekonomi, harta  wakaf yang diwakafkan sepenuhnya adalah milik kaum muslimin yang dapat dikelola secara produktif untuk menunjang perekonomian masyarakat.
Untuk memproduktifkan benda-benda wakaf maka harus ada suatu lembaga pengelola benda wakaf untuk di produktif, atau suatu lembaga yang berperan sebagai tempat pengelola benda-benda wakaf yang diberikan agar dapat bermanfaat untuk kepentingan umat.
Di Indoenesia lembaga yang berfungsi mengelola atau memproduktif kan beda-benda wakf bernama badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI diberi tugas  pengembangan wakaf secara produktif, sehinggga wakaf dapat berfungsi  untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah mekanisme operasional institusi wakaf?
2.      Bagaimanakah perkembangan institusi wakaf di Indonesia?






BAB II
PEMBAHASAN
A.       Mekanisme Operasional Institusi Wakaf
1.      Pengertian Wakaf
Secara etimologi waqaf berasal dari kata waqafa-yaqifu-waqfan, yang berarti berdiri tegak, menahan.Istilah fiqh yang semakna dengan wakaf adalah al-habs dan as-sabiil, sehingga imam syfi’I menyebut wakaf dengan menggunakan lafaz al-habs.
Imam hanifah memaknai wakaf dengan menahan ain asset yang berstatus tetap milik wakif dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan. Imam malik menyatakan wakaf merupakan perbuatan wakif yang menyerahkan manfaat asset wakafnya, baik berupa hasil atau sewa, dengan shigat dalam jangka waktu yang di kehendaki oleh wakif.
Menurut jumhur ulama wakaf adalah menahan suatu benda yang dapat di manfaatkan sementara ain asset tetap, tidak hilang atau berkurang, karena di ambil benefitnya sepanjang penggunaan harta itu di perbolehkan menurut hukum islam. .[1]Dalam UU No. 41 tahun 2004, wakaf dijelaskan sebagai perbuatan hukum wakif (orang yang mewakafkan) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.[2]
Selain itu, wakaf juga diartikan sebagai penyerahan aktiva seseorang atau badan hukum sebagai manifestasi kepatuhan terhadap agama dengan menggunakan manfaat benda wakaf untuk kepentingan umat, sedangkan substansi aktivanya kekal dan tidak berkurang serta harta telah beralih hak kepemilikan menjadi milik Allah SWT.[3]
2.      Dasar Hukum Wakaf 
Secara teks, wakaf tidak terdapat dalam Alquran dan asSunnah, namun makna dan kandungan wakaf terdapat dalam dua sumber hukum Islam tersebut.Di dalam Alquran sering menyatakan konsep wakaf dengan ungkapan yang menyatakan tentang derma harta (infaq) demi kepentingan umum. Sedangkan dalam hadits sering kita temui ungkapan wakaf dengan ungkapan  habs (tahan). Semua ungkapan yang ada di Alquran dan al hadits senada dengan arti wakaf ialah penahanan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridlaan Allah swt.(Basyir Azhari, 1977: 55) benda yang diwakafkan harus bersifat tahan lama dan tidak mudah musnah.Harta yang diwakafkan kemudian menjadi milik Allah, dan berhenti dari peredaran (transaksi) dengan tidak boleh diperjual belikan, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh dihibahkan.
1.       Alquran Al-Karim 
Landasan hukum yang menganjurkan wakaf ialah firman Allah SWT. Surat Ali Imran ayat 92 :

              .

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Q.S. 3 :92) 

Ketika ayat yang menganjurkan untuk menyedekahkan harta yang paling dicintai (QS. Ali Imran (3): 92), di dengar oleh Abu Thalhah maka ia berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT telah berfirman :



Artinya : “Kamu sekali-kali belum sampai kepada kebaktian yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”. (QS. Ali Imran (3): 92). 

 Sedangkan harta yang sangat saya cintai adalah Bairaha (kebun yang berada tepat berhadapan dengan masjid Nabi saw) ia akan kami sadekahkan kepada Allah, kami hanya berharap kebaikan dan pahalanya akan kami simpan di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, pergunakanlah pada tempat yang engkau inginkan. Nabi saw bersabd a: Bagus, itu adalah


 27
harta yang berguna. Aku mendengar apa yang engkau katakan. Menurut pendapat saya, berikan saja harta itu kepada sanak kerabatmu. Akan kami kerjakan wahai Rasulallah saw, jawab Abu Thalhah. Kemudian ia membagi-bagikannya kepada sanak kerabat dan anak pamannya. (HR. Muslim).

Ayat lain yang menganjurkan syari’at wakaf :


Artinya : “Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (Q.S., 22: 77)
 2. Al-Hadits 
a. Di dalam hadits ada banyak hadits tentang wakaf. Menurut Rahmat Djatnika terdapat 6 (enam) hadit yang menjelaskan wakaf yang tidak berulang. Di antaranya  Sabda Rasulullah saw.           
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila manusia wafat terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu dari sedekah jariyah (wakaf), atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (HR. Muslim). Para ulama menafsirkan sabda Rasulullah saw “Shadaqah Jariyah” dengan wakaf bukan seperti memanfaatkan harta.
b.  Artinya : Dari Ibnu Umar ra., bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah dari tanah Khaybar, lalu ia bertanya: Ya Rasulallah saw, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaybar, suatu harta yang belum pernah kudapatkan sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak engkau perintahkan kepadaku? Maka Jawab Nabi saw: Jika engkau suka tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya. Lalu Umar menyedekahkannya, dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-orang fakir, untuk keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil); dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadika hak milik. Dan dalam suatu riwayat diceritakan: dengan syarat jangan dikuasai pokoknya”. (HR.  Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasai dan Ahmad).[4]
3. Urgensi Wakaf 
     Urgensi wakaf dalam kehidupan ekonomi umat sangat mencolok, sebab dengan adanya lahan atau modal yang dikelola secara produktif akan membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan bagi orang yang tidak mampu dengan motivasi etos kerja.
1. Memelihara kekayaan negara dan menjaganya untuk tidak dijual atau digadaikan
2. Memelihara harta peninggalan nenek moyang dan menjaga keutuhan keluarga dan family
 3. Harta benda wakaf keluarga selalu baru dan dinamis sesuai dengan perkembangan waktu dan zaman, sehingga harta yang diwakafkan tidak dibuat foya-foya (mubadzir) oleh ahli warisnya. Akan tetapi masingmasing ahli waris bisa mengelolanya;
4. Wakaf yang dikelola dengan baik dan produktif manfaatnya akan kembali kepada keluarganya. Sebab pengelolaan wakaf produktif yang baik akan menambah pendapatan negara menjadi besar yang secara otomatis akan memberi kesejahteraan kepada bangsanya;
5. Harta wakaf terus bertahan dan tidak akan bangkrut meskipun negara tertimpa krisis ekonomi, karena harta wakaf harus tetap dan terjaga selamanya.[5]
4. Mekanisme Operasional Institusi Wakaf
MA Mannan menyatakan, dilihat dari cara transaksi, wakaf mirip dengan sedekah. Perbedaan antara keduanya terletak pada perpindahan aset kepada masyarakat yang membutuhkan.Asset sedekah dan manfaatnya arus diberikan secara langsung kepada delapan asnaf yang telah ditentukan Allah SWT, sedangkan dalam wakaf perpindahan hanya terjadi pada manfaat/hasil asset, tanpa mengurangi ‘ain aset.    
Apabila menganalisis konsep dari Monzer Kahf, wakaf memiliki makna upaya pengembangan aset yang melibatkan proses akumulasi modal dan harta kekayaan yang produktif melalui investasi saat ini untuk kemaslahatan yang akan datang, sehingga pengelolaan wakaf memiliki pengorbanan kesempatan konsumsi di masa sekarang untuk tujuan menyediakan penghasilan dan pelayanan yang lebih baik bagi generasi mendatang, karena tujuan proyek wakaf adalah mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana meningkatkan kualitas kehidupan sumber daya insani.
Menurut Monzer Kahf, ada beberapa model pembiayaan yang dapat dilaksanakan institusi zakat, yaitu :
a.       Pembiayaan Mudharabah
Penerapan Pembiayaan Mudharabah telah memosisiskan nadzir sebagai debitur kepada lembaga perbankan untuk harga peralatan dan material yang dibeli, ditambah mark-up pembiayaannya. Utang ini akan dibayar dari pendapatan hasil pengembangan harta wakaf.
b.      Pembiayaan Istisna’
Model istisna’ memungkinkan nadzir memesan pengembangan harta wakaf yang diperlukan kepada lembaga pembiayaan melalui suatu kontrak istina’. Lembaga pembiayaan atau bank kemudian membuat kontrak dengan kontraktor untuk memenuhi  pesanan pengelola harta wakaf atas nama lembaga pembiayaan itu. Menurut resolusi Islamic Fiqh Academi dari OKI, istina’ adalah sesuai dengan kontrak syariah di mana pembayaran dapat dilakukan dengan ditangguhkan atas dasar kesepakatan bersama. Model pembiayaan istina’ juga menimbulkan utang bagi pengelola wakaf dan dapat diselesaikan dari hasil pengembangan harta wakaf dan penyedia pembiayaan tidak mempunyai hak untuk turut campur dalam pengelolaan harta wakaf.
c.        Pembiayaan Ijarah
Model pembiayaan ijarah merupakan penerapan sewa menyewa di mana pengelola harta wakaf tetap memegang kendali penuh atas manajemen proyek. Dalam pelaksanaannya nadzir memberikan izin penyedia dana mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Kemudian ia menyewakan gedung tersebut untuk jangka waktu yang sama di mana pada periode tersebut dimiliki oleh penyedia dana (financer). Nadzirakan memberikan sewa secara periodik kepada financer. Jumlah sewa telah diperkirakan akan menutupi modal pokok dan keuntungan yang telah dikehendaki oleh financer. Pada akhir periode yang diizinkan, penyedia dana akan memperoleh kembali modalnya dan keuntungan yang dikehendaki dan setelah itu penyedia dana tidak dapat memasuki lagi harta wakaf. Model ini akan berakhir dengan penyewa memiliki bangunan. Izin yang diberikan mungkin juga permanen atau sepanjang usia proyek, misalnya sepanjang usia ekonomi dari proyek, nadzir menggunakan sebagian pendapatan jika ini sebuah wakaf investasi untuk membayar sewa kepada penyedia dana.
d.      Pembiayaan Mudharabah
Model mudharabah dapat digunakan oleh nadzir dengan asumsi peranannya sebagai entreprenuer dan menerima dana likuid dari lembaga pembiayaan untuk mendirikan bangunan di atas tanah wakaf atau mengebor sebuah sumur minyak jika tanah itu menghasilkan minyak. Manajemen akan tetap berada di tangan nadzir secara eksklusif dan tingkat bagi hasil ditetapkan sedemikian rupa sehingga menutup biaya usaha.
Gagasan model pembiayaan Islami Monzer Kahf di atas ditujukan untuk menyisihkan sebagian pendapatan wakaf untuk merekonstruksi harta wakaf lainnya, yang belum dikelola secara optimal. Dengan demikian, dana wakaf yang dihimpun dan dikelola oleh lembaga wakaf dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan tanah wakaf atau aset lainnya yang tidak produktif, benefit-nya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional klinik dan aktivitas sosial lainnya sesuai dengan keinginan wakif.
Di samping itu, nadzir dapat menggunakan peran perbankan syariah sebagai pengelola dana wakaf. Pengalaman profesional bank syariah dalam mengelola dana nasabah dapat memudahkan bank syariah bekerja sama dengan entrepreuer dan bertanggung jawab terhadap segala kerugian dalam pengelolaan dana. Lembaga wakaf dapat memberikan imbalan atas jasa bank mengelola dana. Untuk menjamin dana wakaf tidak berkurang pokoknya, maka bank syariah harus berhubungan dengan lembaga penjamin.
Akad yang terjadi antara pihak nadzir wakaf dan bank syariah dapat menggunakan sistem mudharabah muqayyyadah dan deposito bagi hasil.Di sini, posisi lembaga wakaf sebagai shahibul maal dan pihak bank berperan menjadi mudharrib/pengelola. Lembaga memberikan batasan mengenai investasi yang akan dilakukan bank, sehingga dana wakaf dapat dikelola sesuai dengan keinginan wakif. Pembagian bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal dan tercantum di dalam akad.Hasil investasi disalurkan melalui rekening nadzir dan dimanfaatkan untuk keperluan maukuf alaih.Pemanfaan benefit dapat dirasakan sesuai waktu yang telah disepakati pada akad.
Untuk mengembangkan lembaga wakaf sebagai sumber pembangunan umat, menurut Monzer Kahf diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya sebagai berikut :
a.       Kerangka hukum (legal framework) yang memberikan perlindungan hukum memadai terhadap hak milik, pengelola lembaga wakaf dan definisi tentang pengelola lembaga wakaf, fungsi dan tujuannya secara jelas dan terperinci.
b.      Undang-undang yang memberikan kemungkinan pengalihan pemilikan semua harta milik wakaf yang telah dialihkan ke sektor publik atau pribadi dan memeriksa kembali catatan lama wakaf untuk memilihkan kembali hak wakaf atas tanah-tanah estate-nya yang hilang.
c.       Merivisi secara menyeluruh manajemen wakaf, khususnya wakaf yang bersifat investasi, agar dapat memenuhi peningkatan efisiensi dan produktivitas harta milik wakaf dan meminimalkan praktik salah urus dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh nadzir. Diperlukan pula model baru pengelolaan wakaf yang sesuai dengan kelembagaan wakaf dan menyediakan mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap pengelola wakaf.[6]

B.     Perkembangan Institusi Wakaf di Indonesia
Perkembangan Wakaf di Indonesia  Lembaga wakaf yang dipraktekkan di berbagai negara juga dipraktekan di Indonesia sejak pra Islam datang ke Indonesia walaupun tidak sepenuhnya persis dengan yang terdapat dalam ajaran Islam. Namun spiritnya sama dengan syari’at wakaf. Hal ini dapat dilihat kenyataan sejarah yang sebagian masih berlangsung sampai sekarang di berbagai daerah di Indonesia.Di Banten umpamanya, terdapat “Huma serang” adalah ladang-ladang yang setiap tahun dikelola secara bersama-sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama. Di Lombok terdapat “Tanah Pareman” ialah tanah negara yang dibebaskan dari pajak “landrente” yang hasilnya diserahkan kepada desa-desa, subak dan kepada Candi untuk kepentingan bersama. Di Jawa Timur terdapat tanah “Perdikan” ialah sebidang tanah yang merupakan pemberian raja kepada seseorang atau kelompok yang berjasa.Menurut Rachmat Djatnika bahwa, bentuk ini hampir menyerupai wakaf keluarga (al waqf al ahly) dari segi fungsi dan pemanfaatan yang tidak boleh diperjual belikan.
Pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia lembaga perwakafan sering dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam.Hal ini sebagai konsekuensi logis dari banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, seperti kerajaan Demak, kerajaan Pasai dsb.Sekalipun pelaksanaan wakaf bersumber dari ajaran Islam, namun wakaf seolaholah merupakan kesepakatan ahli hukum dan budaya bahwa perwakafan adalah masalah dalam hukum adat Indonesia.Sebab diterimanya lembaga wakaf ini berasal dari suatu kebiasaan dalam pergaulan kehidupan masyarakat Indonesia (Azhar Basyir, 1977: 13).Maka tidak jarang orang Indonesia membangun masjid, pesantren dan sekolah untuk bersama-sama secara bergotong royong.[7]
Belakangan, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma itu terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai instrumen menyejahterakan masyarakat muslim. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bisnis dan manajemen.Konteks ini kemudian dikenal dengan wakaf produktif. Achmad Junaidi dan kawan-kawan menawarkan dua hal yang berkaitan dengan wakaf produktif, yaitu :
1.      Asas paradigma baru wakaf, yaitu asas keabadian manfaat, asas pertanggungjawaban/responsibility, asas profeisonalitas manajemen, dan asas keadilan.
2.      Aspek paradigma baru wakaf, yaitu pembaruan/reformasi pemahaman mengenai wakaf, sistem manajemen kenazhiran/manajemen sumber daya insani, dan sistem rekrutmen wakif.
Wakaf dalam konteks kekinian memiliki tiga ciri utama, antara lain :
1.      Pola manajemen wakaf harus terintegrasi
                        Dana wakaf dapat dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang tercakup di dalamnya.
2.      Asas keksejahteraan nazhir
                        Pekerjaan sebagai nazhir tidak lagi diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi sebagai profesional yang biasa hidup dengan layak dari profesi tersebut.
3.      Asas tranparansi dan tanggung jawab
                        Badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan proses pengelolaan dana kepada umat setiap tahun.[8]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam yang sudah mapan.Dalam hukum Islam, wakaf tersebut termasuk ke dalam kategori ibadah kemasyarakatan (ibadah ijtima’iyyah).Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama. Di Indonesia, telah memiliki Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf setelah sebelumnya ada Undangundang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah, yaitu PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Berdasarkan pembahasan yang sudah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, harusnya wakaf bisa dijadikan sebagai lembaga ekonomi yang potensial untuk dikembangkan.Karena institusi perwakafan merupakan salah satu aset kebudayaan nasional dari aspek sosial yang perlu mendapat perhatian sebagai penopang hidup dan harga diri bangsa. Untuk itu, kondisi wakaf di Indonesia
saat ini perlu mendapat perhatian ekstra, khususnya asset benda tidak bergerak agar didorong untuk diberdayakan produktif. Sebagai upaya partisipasi aktif dalam rangka pemberdayaan harta wakaf di Indonesia, Departemen Agama menyusun buku Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Produktif ini agar bisa dijadikan salah satu rujukan dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf di masa depan. Karena pengelolaan dan pengembangan wakaf yang ada di Indonesia  diperlukan komitmen bersama antara pemerintah, pengelola wakaf, LSM, professional, ulama dan masyarakat. Dengan demikian, harta wakaf dapat berkembang dengan baik dan hasilnya benar-benar dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.


[1] Nurul Huda dan Muhamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal, 309- 310
                [2]Syukri Iska dan Rizal, Lembaga Keuangan Syariah, (Batusangkar : STAIN Batusangkar Press , 2005), hal. 104
                [3]Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta :Kencana,2010), hal. 311
[4]Sumuran Harahap.pedoman Dan Pengelolaan Perkembangan Wakaf.( Jakarta, Juli 2006)hal 26-28
[5]Ibid hal 29
                [6]Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta :Kencana,2010), hal. 330-333
[7]Sumuran Harahap.pedoman Dan Pengelolaan Perkembangan Wakaf.( Jakarta, Juli 2006)hal 21-22
                [8]Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 436-437

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERAN DAN FUNGSI DPS, DSN, DAN DK DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

TUGAS MAKALAH INDIVIDU MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK Tentang : PERAN DAN FUNGSI DPS, DSN,  DAN DK DALAM LEMBAGA KEU...