TUGAS MAKALAH INDIVIDU
MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK
Tentang :
institusi wakaf
Oleh :
SEP PUTRI AYU ANDIRA
1630401167
Sepputriayuandiraiainbts.blogspot.com
Dosen Pembimbing:
Dr. SyukriIska, M.Ag
IfeldaNengsih, SEI., MA
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BATUSANGKAR
2017/ 1438 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf adalah salah satu usaha yang
tengah dikembangkan untuk meningkatkan
peran wakaf dalam bidang ekonomi, harta
wakaf yang diwakafkan sepenuhnya adalah milik kaum muslimin yang dapat
dikelola secara produktif untuk menunjang perekonomian masyarakat.
Untuk memproduktifkan benda-benda wakaf
maka harus ada suatu lembaga pengelola benda wakaf untuk di produktif, atau
suatu lembaga yang berperan sebagai tempat pengelola benda-benda wakaf yang
diberikan agar dapat bermanfaat untuk kepentingan umat.
Di Indoenesia lembaga yang berfungsi
mengelola atau memproduktif kan beda-benda wakf bernama badan Wakaf Indonesia
(BWI). BWI diberi tugas pengembangan
wakaf secara produktif, sehinggga wakaf dapat berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah mekanisme
operasional institusi wakaf?
2.
Bagaimanakah perkembangan
institusi wakaf di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mekanisme
Operasional Institusi Wakaf
1.
Pengertian Wakaf
Secara etimologi waqaf berasal dari
kata waqafa-yaqifu-waqfan, yang berarti berdiri tegak, menahan.Istilah fiqh
yang semakna dengan wakaf adalah al-habs dan as-sabiil, sehingga imam syfi’I
menyebut wakaf dengan menggunakan lafaz al-habs.
Imam hanifah memaknai wakaf dengan
menahan ain asset yang berstatus tetap milik wakif dan menyedekahkan manfaatnya
untuk kebaikan. Imam malik menyatakan wakaf merupakan perbuatan wakif yang
menyerahkan manfaat asset wakafnya, baik berupa hasil atau sewa, dengan shigat
dalam jangka waktu yang di kehendaki oleh wakif.
Menurut jumhur ulama wakaf adalah
menahan suatu benda yang dapat di manfaatkan sementara ain asset tetap, tidak
hilang atau berkurang, karena di ambil benefitnya sepanjang penggunaan harta
itu di perbolehkan menurut hukum islam. .[1]Dalam
UU No. 41 tahun 2004, wakaf dijelaskan sebagai perbuatan hukum wakif
(orang yang mewakafkan) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum
menurut syariah.[2]
Selain itu, wakaf juga diartikan
sebagai penyerahan aktiva seseorang atau badan hukum sebagai manifestasi
kepatuhan terhadap agama dengan menggunakan manfaat benda wakaf untuk
kepentingan umat, sedangkan substansi aktivanya kekal dan tidak berkurang serta
harta telah beralih hak kepemilikan menjadi milik Allah SWT.[3]
2.
Dasar Hukum Wakaf
Secara teks, wakaf tidak terdapat dalam
Alquran dan asSunnah, namun makna dan kandungan wakaf terdapat dalam dua sumber
hukum Islam tersebut.Di dalam Alquran sering menyatakan konsep wakaf dengan
ungkapan yang menyatakan tentang derma harta (infaq) demi kepentingan umum.
Sedangkan dalam hadits sering kita temui ungkapan wakaf dengan ungkapan habs (tahan). Semua ungkapan yang ada di
Alquran dan al hadits senada dengan arti wakaf ialah penahanan harta yang dapat
diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridlaan Allah swt.(Basyir Azhari, 1977: 55)
benda yang diwakafkan harus bersifat tahan lama dan tidak mudah musnah.Harta
yang diwakafkan kemudian menjadi milik Allah, dan berhenti dari peredaran
(transaksi) dengan tidak boleh diperjual belikan, tidak boleh diwariskan dan
tidak boleh dihibahkan.
1.
Alquran Al-Karim
Landasan hukum
yang menganjurkan wakaf ialah firman Allah SWT. Surat Ali Imran ayat 92 :
.
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai. Dan apa yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya”. (Q.S. 3 :92)
Ketika ayat yang menganjurkan untuk
menyedekahkan harta yang paling dicintai (QS. Ali Imran (3): 92), di dengar
oleh Abu Thalhah maka ia berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Allah SWT telah berfirman :
Artinya : “Kamu sekali-kali belum
sampai kepada kebaktian yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta
yang kamu cintai”. (QS. Ali Imran (3): 92).
Sedangkan harta yang sangat saya cintai adalah
Bairaha (kebun yang berada tepat berhadapan dengan masjid Nabi saw) ia akan
kami sadekahkan kepada Allah, kami hanya berharap kebaikan dan pahalanya akan
kami simpan di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, pergunakanlah pada tempat yang
engkau inginkan. Nabi saw bersabd a: Bagus, itu adalah
27
harta yang berguna. Aku mendengar apa
yang engkau katakan. Menurut pendapat saya, berikan saja harta itu kepada sanak
kerabatmu. Akan kami kerjakan wahai Rasulallah saw, jawab Abu Thalhah. Kemudian
ia membagi-bagikannya kepada sanak kerabat dan anak pamannya. (HR. Muslim).
Ayat lain yang menganjurkan syari’at
wakaf :
Artinya : “Perbuatlah kebajikan, supaya
kamu mendapat kemenangan” (Q.S., 22: 77)
2. Al-Hadits
a. Di dalam hadits ada banyak hadits
tentang wakaf. Menurut Rahmat Djatnika terdapat 6 (enam) hadit yang menjelaskan
wakaf yang tidak berulang. Di antaranya
Sabda Rasulullah saw.
Artinya : Diriwayatkan dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila manusia wafat terputuslah
semua amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu dari sedekah jariyah
(wakaf), atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (HR.
Muslim). Para ulama menafsirkan sabda Rasulullah saw “Shadaqah Jariyah” dengan
wakaf bukan seperti memanfaatkan harta.
b.
Artinya : Dari Ibnu Umar ra., bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang
tanah dari tanah Khaybar, lalu ia bertanya: Ya Rasulallah saw, aku mendapatkan
sebidang tanah di Khaybar, suatu harta yang belum pernah kudapatkan sama sekali
yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak engkau
perintahkan kepadaku? Maka Jawab Nabi saw: Jika engkau suka tahanlah pokoknya
dan sedekahkan hasilnya. Lalu Umar menyedekahkannya, dengan syarat tidak boleh
dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk
orang-orang fakir, untuk keluarga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk
menjamu tamu, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil);
dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan
cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat
jangan dijadika hak milik. Dan dalam suatu riwayat diceritakan: dengan syarat
jangan dikuasai pokoknya”. (HR. Bukhari,
Muslim, Turmudzi, Nasai dan Ahmad).[4]
3. Urgensi
Wakaf
Urgensi
wakaf dalam kehidupan ekonomi umat sangat mencolok, sebab dengan adanya lahan
atau modal yang dikelola secara produktif akan membantu masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan bagi orang yang tidak mampu dengan motivasi etos kerja.
1. Memelihara kekayaan negara dan
menjaganya untuk tidak dijual atau digadaikan
2. Memelihara harta peninggalan nenek
moyang dan menjaga keutuhan keluarga dan family
3. Harta benda wakaf keluarga selalu baru dan
dinamis sesuai dengan perkembangan waktu dan zaman, sehingga harta yang
diwakafkan tidak dibuat foya-foya (mubadzir) oleh ahli warisnya. Akan tetapi
masingmasing ahli waris bisa mengelolanya;
4. Wakaf yang dikelola dengan baik dan
produktif manfaatnya akan kembali kepada keluarganya. Sebab pengelolaan wakaf
produktif yang baik akan menambah pendapatan negara menjadi besar yang secara
otomatis akan memberi kesejahteraan kepada bangsanya;
5. Harta wakaf terus bertahan dan tidak
akan bangkrut meskipun negara tertimpa krisis ekonomi, karena harta wakaf harus
tetap dan terjaga selamanya.[5]
4. Mekanisme Operasional Institusi Wakaf
MA Mannan menyatakan, dilihat dari cara
transaksi, wakaf mirip dengan sedekah. Perbedaan antara keduanya terletak pada
perpindahan aset kepada masyarakat yang membutuhkan.Asset sedekah dan
manfaatnya arus diberikan secara langsung kepada delapan asnaf yang telah
ditentukan Allah SWT, sedangkan dalam wakaf perpindahan hanya terjadi pada
manfaat/hasil asset, tanpa mengurangi ‘ain aset.
Apabila menganalisis konsep dari Monzer
Kahf, wakaf memiliki makna upaya pengembangan aset yang melibatkan proses akumulasi
modal dan harta kekayaan yang produktif melalui investasi saat ini untuk
kemaslahatan yang akan datang, sehingga pengelolaan wakaf memiliki pengorbanan
kesempatan konsumsi di masa sekarang untuk tujuan menyediakan penghasilan dan
pelayanan yang lebih baik bagi generasi mendatang, karena tujuan proyek wakaf
adalah mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana meningkatkan
kualitas kehidupan sumber daya insani.
Menurut Monzer Kahf, ada beberapa model
pembiayaan yang dapat dilaksanakan institusi zakat, yaitu :
a.
Pembiayaan Mudharabah
Penerapan Pembiayaan Mudharabah
telah memosisiskan nadzir sebagai debitur kepada lembaga perbankan untuk
harga peralatan dan material yang dibeli, ditambah mark-up
pembiayaannya. Utang ini akan dibayar dari pendapatan hasil pengembangan harta
wakaf.
b.
Pembiayaan Istisna’
Model istisna’ memungkinkan nadzir
memesan pengembangan harta wakaf yang diperlukan kepada lembaga pembiayaan
melalui suatu kontrak istina’. Lembaga pembiayaan atau bank kemudian
membuat kontrak dengan kontraktor untuk memenuhi pesanan pengelola harta wakaf atas nama
lembaga pembiayaan itu. Menurut resolusi Islamic Fiqh Academi dari OKI, istina’
adalah sesuai dengan kontrak syariah di mana pembayaran dapat dilakukan dengan
ditangguhkan atas dasar kesepakatan bersama. Model pembiayaan istina’
juga menimbulkan utang bagi pengelola wakaf dan dapat diselesaikan dari hasil
pengembangan harta wakaf dan penyedia pembiayaan tidak mempunyai hak untuk
turut campur dalam pengelolaan harta wakaf.
c.
Pembiayaan Ijarah
Model pembiayaan ijarah
merupakan penerapan sewa menyewa di mana pengelola harta wakaf tetap memegang
kendali penuh atas manajemen proyek. Dalam pelaksanaannya nadzir
memberikan izin penyedia dana mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf
untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Kemudian ia menyewakan gedung
tersebut untuk jangka waktu yang sama di mana pada periode tersebut dimiliki
oleh penyedia dana (financer). Nadzirakan memberikan sewa secara
periodik kepada financer. Jumlah sewa telah diperkirakan akan menutupi
modal pokok dan keuntungan yang telah dikehendaki oleh financer. Pada
akhir periode yang diizinkan, penyedia dana akan memperoleh kembali modalnya
dan keuntungan yang dikehendaki dan setelah itu penyedia dana tidak dapat
memasuki lagi harta wakaf. Model ini akan berakhir dengan penyewa memiliki
bangunan. Izin yang diberikan mungkin juga permanen atau sepanjang usia proyek,
misalnya sepanjang usia ekonomi dari proyek, nadzir menggunakan sebagian
pendapatan jika ini sebuah wakaf investasi untuk membayar sewa kepada penyedia
dana.
d.
Pembiayaan Mudharabah
Model mudharabah dapat digunakan
oleh nadzir dengan asumsi peranannya sebagai entreprenuer dan
menerima dana likuid dari lembaga pembiayaan untuk mendirikan bangunan di atas
tanah wakaf atau mengebor sebuah sumur minyak jika tanah itu menghasilkan
minyak. Manajemen akan tetap berada di tangan nadzir secara eksklusif
dan tingkat bagi hasil ditetapkan sedemikian rupa sehingga menutup biaya usaha.
Gagasan model pembiayaan Islami Monzer
Kahf di atas ditujukan untuk menyisihkan sebagian pendapatan wakaf untuk
merekonstruksi harta wakaf lainnya, yang belum dikelola secara optimal. Dengan
demikian, dana wakaf yang dihimpun dan dikelola oleh lembaga wakaf dapat
dimanfaatkan untuk menghidupkan tanah wakaf atau aset lainnya yang tidak
produktif, benefit-nya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
operasional klinik dan aktivitas sosial lainnya sesuai dengan keinginan wakif.
Di samping itu, nadzir dapat
menggunakan peran perbankan syariah sebagai pengelola dana wakaf. Pengalaman
profesional bank syariah dalam mengelola dana nasabah dapat memudahkan bank
syariah bekerja sama dengan entrepreuer dan bertanggung jawab terhadap
segala kerugian dalam pengelolaan dana. Lembaga wakaf dapat memberikan imbalan
atas jasa bank mengelola dana. Untuk menjamin dana wakaf tidak berkurang
pokoknya, maka bank syariah harus berhubungan dengan lembaga penjamin.
Akad yang terjadi antara pihak
nadzir wakaf dan bank syariah dapat menggunakan sistem mudharabah
muqayyyadah dan deposito bagi hasil.Di sini, posisi lembaga wakaf sebagai shahibul
maal dan pihak bank berperan menjadi mudharrib/pengelola. Lembaga
memberikan batasan mengenai investasi yang akan dilakukan bank, sehingga dana
wakaf dapat dikelola sesuai dengan keinginan wakif. Pembagian bagi hasil
sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal dan tercantum di dalam
akad.Hasil investasi disalurkan melalui rekening nadzir dan dimanfaatkan
untuk keperluan maukuf alaih.Pemanfaan benefit dapat dirasakan
sesuai waktu yang telah disepakati pada akad.
Untuk mengembangkan lembaga wakaf
sebagai sumber pembangunan umat, menurut Monzer Kahf diperlukan beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya sebagai berikut :
a.
Kerangka hukum (legal
framework) yang memberikan perlindungan hukum memadai terhadap hak milik,
pengelola lembaga wakaf dan definisi tentang pengelola lembaga wakaf, fungsi
dan tujuannya secara jelas dan terperinci.
b.
Undang-undang yang memberikan kemungkinan pengalihan pemilikan semua harta
milik wakaf yang telah dialihkan ke sektor publik atau pribadi dan memeriksa
kembali catatan lama wakaf untuk memilihkan kembali hak wakaf atas tanah-tanah estate-nya
yang hilang.
c.
Merivisi secara
menyeluruh manajemen wakaf, khususnya wakaf yang bersifat investasi, agar dapat
memenuhi peningkatan efisiensi dan produktivitas harta milik wakaf dan
meminimalkan praktik salah urus dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh nadzir.
Diperlukan pula model baru pengelolaan wakaf yang sesuai dengan kelembagaan
wakaf dan menyediakan mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap pengelola
wakaf.[6]
B.
Perkembangan
Institusi Wakaf di Indonesia
Perkembangan
Wakaf di Indonesia Lembaga wakaf yang
dipraktekkan di berbagai negara juga dipraktekan di Indonesia sejak pra Islam
datang ke Indonesia walaupun tidak sepenuhnya persis dengan yang terdapat dalam
ajaran Islam. Namun spiritnya sama dengan syari’at wakaf. Hal ini dapat dilihat
kenyataan sejarah yang sebagian masih berlangsung sampai sekarang di berbagai
daerah di Indonesia.Di Banten umpamanya, terdapat “Huma serang” adalah
ladang-ladang yang setiap tahun dikelola secara bersama-sama dan hasilnya
dipergunakan untuk kepentingan bersama. Di Lombok terdapat “Tanah Pareman”
ialah tanah negara yang dibebaskan dari pajak “landrente” yang hasilnya
diserahkan kepada desa-desa, subak dan kepada Candi untuk kepentingan bersama.
Di Jawa Timur terdapat tanah “Perdikan” ialah sebidang tanah yang merupakan
pemberian raja kepada seseorang atau kelompok yang berjasa.Menurut Rachmat
Djatnika bahwa, bentuk ini hampir menyerupai wakaf keluarga (al waqf al ahly)
dari segi fungsi dan pemanfaatan yang tidak boleh diperjual belikan.
Pada masa pra
kemerdekaan Republik Indonesia lembaga perwakafan sering dilakukan oleh
masyarakat yang beragama Islam.Hal ini sebagai konsekuensi logis dari banyaknya
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, seperti kerajaan Demak, kerajaan Pasai
dsb.Sekalipun pelaksanaan wakaf bersumber dari ajaran Islam, namun wakaf
seolaholah merupakan kesepakatan ahli hukum dan budaya bahwa perwakafan adalah
masalah dalam hukum adat Indonesia.Sebab diterimanya lembaga wakaf ini berasal
dari suatu kebiasaan dalam pergaulan kehidupan masyarakat Indonesia (Azhar
Basyir, 1977: 13).Maka tidak jarang orang Indonesia membangun masjid, pesantren
dan sekolah untuk bersama-sama secara bergotong royong.[7]
Belakangan,
wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma itu
terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai instrumen
menyejahterakan masyarakat muslim. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan bisnis dan manajemen.Konteks ini kemudian dikenal dengan
wakaf produktif. Achmad Junaidi dan kawan-kawan menawarkan dua hal yang
berkaitan dengan wakaf produktif, yaitu :
1. Asas paradigma baru wakaf, yaitu asas keabadian
manfaat, asas pertanggungjawaban/responsibility, asas profeisonalitas
manajemen, dan asas keadilan.
2. Aspek paradigma baru wakaf, yaitu
pembaruan/reformasi pemahaman mengenai wakaf, sistem manajemen
kenazhiran/manajemen sumber daya insani, dan sistem rekrutmen wakif.
Wakaf dalam konteks kekinian memiliki tiga ciri
utama, antara lain :
1. Pola manajemen wakaf harus terintegrasi
Dana wakaf dapat
dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang
tercakup di dalamnya.
2. Asas keksejahteraan nazhir
Pekerjaan sebagai nazhir
tidak lagi diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi sebagai profesional yang
biasa hidup dengan layak dari profesi tersebut.
3. Asas tranparansi dan tanggung jawab
Badan wakaf dan lembaga
yang dibantunya harus melaporkan proses pengelolaan dana kepada umat setiap
tahun.[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perwakafan atau wakaf merupakan pranata
dalam keagamaan Islam yang sudah mapan.Dalam hukum Islam, wakaf tersebut
termasuk ke dalam kategori ibadah kemasyarakatan (ibadah
ijtima’iyyah).Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang
amat penting dalam memajukan perkembangan agama. Di Indonesia, telah memiliki
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf setelah sebelumnya ada
Undangundang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok Agraria dan
Peraturan Pemerintah, yaitu PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik. Berdasarkan pembahasan yang sudah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya,
harusnya wakaf bisa dijadikan sebagai lembaga ekonomi yang potensial untuk
dikembangkan.Karena institusi perwakafan merupakan salah satu aset kebudayaan
nasional dari aspek sosial yang perlu mendapat perhatian sebagai penopang hidup
dan harga diri bangsa. Untuk itu, kondisi wakaf di Indonesia
saat ini perlu mendapat perhatian
ekstra, khususnya asset benda tidak bergerak agar didorong untuk diberdayakan
produktif. Sebagai upaya partisipasi aktif dalam rangka pemberdayaan harta
wakaf di Indonesia, Departemen Agama menyusun buku Pedoman Pengelolaan dan
Pengembangan Wakaf Produktif ini agar bisa dijadikan salah satu rujukan dalam
pengelolaan dan pengembangan harta wakaf di masa depan. Karena pengelolaan dan
pengembangan wakaf yang ada di Indonesia
diperlukan komitmen bersama antara pemerintah, pengelola wakaf, LSM,
professional, ulama dan masyarakat. Dengan demikian, harta wakaf dapat
berkembang dengan baik dan hasilnya benar-benar dapat dirasakan manfaatnya bagi
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar